Posted in

Sosal

Mayang Sari Marpaung

Sastra Indonesia B 2022

Bayangan wajahku di cermin ini sangat bahagia karena dilengkapi dengan senyuman. Seluruh tubuhku terpoles cantik oleh riasan dan pakaian tradisional yang dipilih oleh ibuku sendiri. Mereka pun tampak bahagia melihatku, yang sudah berumur 31 tahun, akhirnya menikah, tak hanya mengurus pekerjaanku yang sudah kucintai sejak lama. Akhirnya aku bisa mencintai orang juga. Akhirnya aku akan lepas dari istilah “perawan tua.”

Merisik. Itu nama ritual ini. Aku menyebutnya ritual, padahal ibuku sudah mengomeliku berulang kali, menyebut bahwa ini adalah tradisi. Aku yang sudah lama merantau di kota besar sekarang cukup skeptis tentang segala hal yang menyangkut ini. Tapi aku tetap menurut karena bagaimanapun, ini adalah budaya. Aku tidak bisa lepas dari itu karena aku tumbuh dan besar di sini.

Singkatnya, pada tradisi ini, keluarga pria datang ke rumah wanita untuk menanyakan dan mengetahui informasi lebih lanjut mengenai wanita yang akan dipinang (dilamar). Orang tua dan keluarganya saling melihat, mungkin cukup terkejut dengan umurku yang sudah 31 tahun ini, tujuh tahun lebih tua dari anak laki-laki mereka. Tapi aku tidak menghiraukannya, karena yang terpenting adalah pria yang akan kunikahi. Dia membisikkan kata cinta padaku tiap hari, dan dia memperlakukanku dengan sangat baik hingga kupikir tak ada pria lain sebaik dirinya. Aku tak peduli jika pekerjaannya hanya melaut, aku tak peduli jika pendidikan terakhirnya hanya SMA, itu pun tidak lulus. Tapi aku sudah mencintainya dan dia mencintaiku. Itu sudah cukup.

Awalnya, mereka cukup keberatan dengan mahar yang disebutkan, karena terlepas dari aku sudah magister, aku juga merupakan seorang pegawai negeri sipil. Tapi, apa pun itu, aku bersedia menurunkan “harga diriku,” meminta ayahku untuk menerima saja. Dengan berat hati, ayahku menyetujui karena bagaimanapun aku sudah terlalu tua. Kedua keluarga sepakat dan menerima. Kabarnya, mereka akan meminangku dua minggu lagi. Tentu saja aku senang, apalagi orang tuaku. Akhirnya anak gadis mereka akan menikah.

Mereka pun datang meminang. Kami menjamu mereka semaksimal mungkin. Beberapa kerabatku bahkan datang menolong. Dia, pria yang kucintai, masih menatapku sama, penuh dengan cintanya. Kami bertukar cincin dan menatap satu sama lain.

Aku yakin aku takkan menyesal.

Barulah aku tahu bahwa itu tak ada gunanya. Semuanya hanya menjadi omong kosong belaka. Aku tidak ingat bahwa budaya sering kali tak adil dan menuntut hanya kaum perempuan. Mengapa hanya pria yang berhak bertanya pada wanita? Mengapa hanya pria yang berhak mempertanyakan seorang wanita? Mereka memanfaatkan tradisi itu untuk mempermainkan keluargaku, mempermainkanku.

Tak kupikir bahwa senyum tulusnya itu adalah senyum bahagia karena sudah berhasil mempermainkanku. Harusnya aku cukup kritis bagaimana mereka saling bertukar pandang, seolah menyembunyikan sesuatu, sesuatu yang besar seperti ini.

“Harusnyo kau basyukur udah ku kawini.”
(Harusnya kamu bersyukur karena sudah kunikahi.)

“Parawan tuo kek kau siapo yang ondak? Kalok la aku tak porlu anak samo tambahan duit, takkan ku kawini kau.”
(Perawan tua seperti kamu, siapa yang mau? Kalau aku tidak butuh anak dan tambahan uang, takkan kunikahi kamu.)

Dua bulan setelah kami menghabiskan malam pernikahan, ketika aku begitu bahagia bersembunyi dalam pelukannya karena mendapat berita bahwa ada kehidupan yang tumbuh di dalam diriku, dia begitu tak sabar untuk menghancurkan hatiku. Rumah ini, yang kubeli dengan hasil jerih payahku untuk ditinggali oleh keluarga yang kupikir sudah kubangun, dia membawa seorang wanita muda yang tampaknya jauh lebih muda dan cantik dariku. Dia memperkenalkannya sebagai istri pertamanya. Miris, aku bahkan tak teringat diberi kesempatan untuk bertanya apa-apa padanya.

Aku jelas langsung teringat alasanku pergi jauh-jauh merantau untuk menempuh pendidikan, untuk menghindari fenomena nikah muda yang selalu dipraktikkan masyarakat di sini. Bahkan jika orang tuaku mendapat pujian karena anak gadisnya adalah seorang magister, tapi mereka dicerca karena aku tak kunjung mendapat jodoh karena lebih sibuk bekerja. Lalu meski sudah mendapat pendidikan, aku terjerat pada penipuan ini seperti orang bodoh saja.

“Udah barapo lamo kamu menikah?” 

(Sudah berapa lama kalian menikah?), tanyaku. Suaraku tercekat karena menahan semua emosi yang memberontak ingin keluar.

“Udah tujuh taun. Tapi kami tak ado anak. Karono itu kukawini kau.”
(Sudah tujuh tahun. Tapi kami tidak punya anak. Karena itu aku menikahimu), jawabnya seolah itu hal biasa.

Ah, benar. Itu memang hal yang biasa di sini. Nikah muda. Dan biasanya, pernikahan orang-orang seperti itu tak begitu berjalan baik. Kekerasan rumah tangga, penipuan, anak yang tertinggalkan hingga perceraian, kebanyakan selalu berakhir begitu. Harusnya aku langsung bertanya alasan mengapa dia berhenti sekolah. Hanya karena tak ingin menggali luka masa lalunya, kini aku yang hancur oleh itu begitu kerasnya.

“Kenapo? Ondak becore? Tak kesian kau samo anak kau?”
(Kenapa? Ingin bercerai? Tak kasihan kau pada anakmu?)

Anakmu. Padahal dia yang menginginkan anak ini, tapi dia bicara seolah ini hanya anakku sendiri. Bahkan jika aku menggugat cerai, aku kasihan pada anak yang belum lahir ini. Dia pasti akan dicerca seperti diriku. Bahkan jika aku menggugatnya atas dasar penipuan, anak ini akan menjadi anak dari kriminal. Bahkan jika aku mengusirnya dari rumah ini, masyarakat pun akan mencaciku karena jadi istri yang durhaka.

Ternyata, pendidikan yang kudapatkan tak juga memberiku pengajaran bahwa aku harus hati-hati dengan pria. Aku terlalu fokus pada pendidikanku, hingga aku tak memiliki pengalaman hidup. Harusnya aku bergonta-ganti pria saja dulu, dengan begitu aku tidak akan tertipu seperti ini. Dengan begitu, aku tak akan menyalahkan siapa pun dan apa pun. Dengan begitu, aku tak perlu terjebak di antara prinsip moralitasku dan masyarakat.

Pada akhirnya, aku memilih untuk kembali ke rumah orang tuaku. Biarlah mereka tinggal di sana, yang penting aku tak akan membiarkan hatiku tertoreh luka terus-menerus jika melihat mereka berdua di sana. Lalu anak ini, aku tak akan pernah menyerahkannya pada mereka. Aku tidak akan mengesampingkan rasionalitas ku lagi karena cinta.

Sejak saat itu, aku tak pernah menempati rumah itu lagi. Rumah itu sudah tercemar, begitu menjijikkan hingga tiap kali teringat, mataku berpeluh penat. Pria itu pun, dengan tidak tahu malu, datang ke rumahku dan memberi uang bulanan yang bahkan kurang dari satu perempat gajiku. Katanya hanya untuk anaknya saja. Lucu sekali, padahal dulu aku berpikir akan bersyukur dengan berapa pun uang yang akan dia berikan padaku. Ternyata setelah melihat kebenaran, aku selalu mengutuknya di setiap kesempatan. Aku adalah wanita berpendidikan, pun aku masih terjebak di kasus yang orang desa pun jarang mengalaminya, atau mereka menutup-nutupinya.

Puluhan pasang mata melihat situasi kami. Sudah jelas puluhan mulut juga menjadikan kami topik panas yang lezat untuk dikonsumsi. Keluargaku, terutama kerabat, bukannya membela, mereka berbondong-bondong menjadikanku contoh agar anak mereka tak mengalami hal yang sama. Mengatakan bahwa pendidikan tidak ada gunanya jika aku masih dengan tololnya terjebak pada tipuan mereka.

Tidak. Pendidikanku tidak sia-sia. Aku membuktikannya dengan keadaanku. Aku pisah rumah dari pria itu, tapi aku memiliki penghasilan. Aku masih hidup enak dan tenang. Aku tak kekurangan apa pun. Aku tidak tinggal dengan suamiku, tapi aku tidak kekurangan kasih sayang karena aku memiliki orang tuaku. Aku tak membutuhkan pria itu. Aku memiliki pendidikan yang cukup untuk mengurus diri dan kebutuhanku.

Hingga setelah aku melahirkan, aku pindah dari desa itu. Aku membawa orang tuaku sekaligus. Segalanya sudah aku rencanakan, mulai dari permintaan pemindahan tugas, surat rumah yang akan kujual, surat cerai, hukum perceraian, hingga gugatan penipuan. Aku akan membalas mereka berkali-kali lipat. Lebih banyak dari mereka yang sudah menyakitiku.

Dua bulan berlalu, semuanya sudah selesai. Pria itu dan istrinya diusir dari rumah oleh orang yang sudah membeli rumah itu. Masalah kemudian datang saat polisi membawa mereka ke penjara. Pria itu akan mendekam di sana selama empat tahun.

“Tak tau diuntung! Udah syukur ku kawini kau, bujan*! Elok kau bawak anakku ke sini. Mano anakku?! Jangan kau larikan anakku!!”
(Tak tahu diuntung! Bersyukurlah sudah kunikahi kau, bujan*! Bawa anakku ke sini! Mana anakku?! Jangan larikan anakku!)

Menyedihkan. Teriakannya menggema di seluruh ruang sel. Aku bahkan tak merasa kasihan sedikit pun. Karena diriku saja enggan kukasihani, maka untuk apa aku memberikannya empati yang mewah seperti itu? Dia meneriaki, memaki, dan mencerca ku, bahkan setelah aku memberikan punggungku padanya saat meninggalkan penjara. Kuanggap suaranya seperti dengungan lalat saja.

Berikutnya, aku memberikan surat cerai. Aku mengancam, jika dia tidak menandatangani, aku akan menuntut ganti rugi atas penipuan dan kerugian. Dia pun dengan enggan menandatangani. Hak asuh anak pun sudah berada di tanganku. Pada momen itulah, seluruh keluarganya melayangkan kebencian padaku. Aku tidak peduli. Mereka seharusnya tahu bahwa kebencian mereka itu tak sebanding dengan perasaan campur aduk yang kurasakan. Aku tidak senang dengan semua pencapaian itu, dengan semua pembalasan luka. Aku hanya bersyukur karena hatiku tak sesakit sebelumnya.

Meskipun aku tahu masih ada penyesalan yang nyata.

TAMAT

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *