
Dunia indah ku runtuh
Orang yang sangat aku sayangi
Orang yang mengayomi dan mencintai ku dengan sepenuh hati
Pergi meninggalkan ku
Di ruang tamu yang besar orang-orang silih berganti melewati ku yang lemah tak berdaya. Terlihat 3 jasad terbaring kaku ditutupi selimut. Kata-kata semangat tidak terdengar oleh ku. Hatiku hampa, pikiran ku kacau, dadaku terasa penuh. Air mata sudah tak sudi menetes. Ingin rasanya membaringkan tubuh di kasur tetapi aku tak sanggup bergerak.
“Yana… Sabar Yana ini namanya cobaan, aku yakin kamu sanggup melewati nya”. “Kasihan sekali dia keluarganya 3 orang pergi sekaligus”. “Tapi dia mah enak, harta warisan kan untuk dia semua jadinya”. “hussst.. Gak boleh gitu”
Dialog-dialog dan ocehan-ocehan dari orang lain tak mampu aku tangkap, kata-kata itu hanya bisa melewati telinga ku. Aku hanya melirik kepada orang-orang yang menyebut namaku. Aku sungguh tak sanggup merespon dan menjawab pertanyaan yang diberikan.
Seminggu berlalu, orang-orang yang tadinya terus berdatangan ke rumah ku akhirnya pergi satu per satu. Mereka tidak punya waktu untuk menemani ku terus-menerus. Di rumah yang begitu besar ini akhirnya hanya tersisa 3 orang, aku, mbak asisten dan sahabatku Gena. Sepi sekali.
Selama seminggu ini aku selalu mencoba untuk berpikir jernih. Aku ingin mengatur ulang hidupku namun tetap saja pikiran yang menyalahkan diri atas segala yang terjadi terus mengusikku. Aku selalu menyesal dan terus berandai, seandainya aku ikut ke rumah paman pasti aku tidak ditinggal sendiri. Tanpa sadar aku telah memegang gunting. Seolah ada yang menggerakkan diriku, gunting tersebut mengarah ke leherku.
“Yan, ayok makan malam dah jam 8 ini, kamu daritadi gak ada keluar”. Suara ketukan pintu oleh Gena. “Astaghfirullah Yana, istighfar. Astaghfirullahaladzim”. Dengan cepat Gena membuang gunting tersebut.
“Ya Allah Yana, gapapa, gapapa ada aku disini”. Gena menepuk-nepuk punggungku agar tenang. Tak lama aku dan Gena pun tertidur bersama.
“Beresin barangmu, yuk jalan-jalan”
“Ha? Malas ah, emang kita mau kemana?”
“Gak usah banyak tanya, ayok!” Fuja yang tah kapan datang menarik tanganku.
Perjalanan demi menghibur diriku pun dimulai…
“Ih serius ini yah, kita sebenarnya mau kemana?” Tanyaku dengan sebal
“Kasih tau gak ya?” Jawab Fuja dan Gena dengan serempak
“Kamu nanyea, dan kamu bertanya-tanya?” Fuja meledek
“Yodah lompat nih aku yah”
“eehh, gak asik ih”
“Jadi nih yah, kita akan ke rumah nenekku di Natal, tau gak daerah mana itu?” Tanya Gena dan disusul gelengan kepala kami berdua.
“Natal, Mandailing Natal loh teman-teman”. Aku dan Fuja hanya membulatkan mulut
Kami pun sampai di rumah neneknya Gena. Rumah Neneknya unik sekali. Rumah yang sangat sederhana, rumah panggung yang terbuat dari papan kayu dengan sedikit anak tangga di depan pintu, klasik namun elegan. Kami pun bersalaman dan berbincang-bincang. Tak lama kemudian bibi Gena datang dengan membawa lauk pauk. “Ayuk kita makan dulu”. Dengan semangat, kami pun menyerbu makanan yang dihidangkan
“Tau gak ini namanya sayur apa?” Tanya nenek Gena
“oh aku tau, ini namanya daun ubi tumbuk kan?”. Fuja menunjuk Sayuran berwarna hijau kental dengan kuah santan yang menggugah selera
“Betul, tapi disini namanya Gule bulung gadung. Nah kalau yang ini namanya Gulai ikan saleh” Jelas Nenek Gena dengan menunjuk lauk berkuah santan berwarna kuning sedikit kemerahan diisi oleh ikan dan kentang yang seperti berenang. “ayok silahkan dimakan”
Aku dan Fuja menikmati makanan yang lezat ini. Nasi hangat bercampur dengan kuah kental yang meleleh dimulut. Rasa ikan gabus dan kentang yang lembut menyatu di dalam mulut. Meskipun rasanya pedas dan asin, perpaduan rasa ini sangat nikmat. Kami makan dengan sangat lahap seperti orang yang tidak makan berhari-hari.
“Nek, enak kalii sayurnya. Terimakasih nenek”. Ujarku dengan mulut penuh
“Iya, ayok habiskan”
Keesokan harinya Gena mengajak kami berjalan-jalan. Ia mengajak kami untuk berbelanja di poken yakni pasar yang hanya buka seminggu sekali. Jarak poken yang dibuka tidak jauh, cukup 5 menit saja berjalan kaki. Kami pun berkeliling dan membeli barang-barang yang disuka. Setelah selesai dan puas berbelanja Gena mengajak kami makan “Lapar gak?” kami mengangguk iya, “Yuk makan yang manis-manis yuk” Gena menarik kami ke sebuah kedai. Di kedai tersebut tertulis, Tersedia: Toge Panyabungan, Lemang, Lontong, Mie pocal dan Mie lidi.
“Etek, pesan Toge Panyabungan dan lemang ya” Gena memesan
Tak lama kemudian datanglah makanan yang dipesan Gena. Toge Panyabungan bukanlah nama sayuran tauge yang tumbuh dari kacang ijo. Melainkan Toge Panyabungan merupakan makanan khas dari Mandailing Natal. Makanan ini merupakan makanan manis dan bisa dijadikan sebagai hidangan penutup (Dessert). Tampilannya yang cantik beralaskan piring batu bergambar bunga, makanan ini isinya sangat rame. Beraneka macam isiannya yaitu cendol, ketan hitam, biji salak, tape dan lupis. Tidak lupa disiram oleh kuah santan putih yang sedikit encer dan gula merah yang kental. Ketika makanan ini masuk ke lidah. Wow.. rasanya manis, gurih membuat lidah merasakan rasa perpaduan yang luar biasa nikmat.
“Enak banget, ini kalau dikasih es batu tambah nikmat”. Seruku. “Betul itu, pasti rasanya kayak es campur”.
“Etek, apakah ada es batu?” Tanya Gena. “Maaf, tidak ada adik”. Jawab ibu penjual. Yaahhh kami sangat menyayangkan tapi tidak apa karena rasanya tetap enak, seperti memakan kolak/bubur.
Toge kami pun habis, saatnya menyantap makanan kedua, yakni lemang. Lemang adalah makanan yang terbuat dari beras pulut yang dicampur dengan santan dan rempah-rempah kemudian dibalut daun pisang. Selanjutnya dimasak menggunakan bambu dan dibakar di kayu api. Lemang ini mirip seperti lontong. Ketika aku memakan lemang, aku merasa seperti memakan nasi. Namun jika nasi rasanya hambar diawal dan manis diakhir. Lemang terasa manis, asin dan gurih. Memakan lemang membutuhkan sedikit tenaga lebih di mulut dikarenakan teksturnya yang padat dan lengket membuat lemang susah dikunyah.
Kami pun mengakhiri kegiatan kami hari ini dan pulang ke rumah. Sore hari di bawah langit jingga aku duduk di atas tangga pintu masuk menikmati pemandangan senja yang indah. Beberapa kali orang-orang melewati ku dan menyapa ku ada beberapa yang mengajakku berbicara singkat, seperti menanyakan siapa dan darimana asal ku. Langit jingga tadi berubah menjadi sedikit gelap, aku termenung dan bertanya pada diri sendiri apakah aku boleh se- bahagia ini?. Tanpa sadar air mata menetes, aku langsung menyembunyikan wajahku ke dalam lutut dan tangan bekerjasama untuk menutupi.
“Yan, hei.. Kamu tidur? Yuk masuk dah mau maghrib”. Melihat punggung ku sedikit gemetar, Fuja memeluk ku. Tidak lama kami pun masuk bersama.
10 hari sudah kami menghabiskan waktu di Mandailing Natal. Aku sangat bahagia, saking bahagia nya aku lupa bahwa aku telah ditinggal Ayah, ibu dan adikku. Liburan ini benar-benar menyembuhkan ku. Bagaimana tidak, setiap hari Gena mengajak kami berkeliling entah kemana saja, semua hal kami coba. Mulai dari makanan, tempat baru yang belum pernah aku datangi, wisata-wisata indah yang penuh makna, orang-orang baik yang sangat peduli kepada orang lain bahkan kepada orang yang tidak dikenal nya. Aku sangat berterimakasih dengan Gena, ia mampu memulihkan dan membuat ku sedikit menerima takdir yang memang menjadi milikku.
Kami bertiga kembali ke rumah, berpamitan dengan nenek dan berjanji akan menemuinya lagi di lain waktu. Aku mulai membenahi hidupku. Meski hidupku terasa hampa karena tidak ada lagi keluarga yang menanyakan kabarku setiap waktu. Tapi aku bersyukur Tuhan selalu menghadirkan orang baik disisiku sehingga aku tidak pernah merasa sendirian.