Posted in

Boru Panggoaran di Balik Gerbang Ukiran

Jelita Septiani Sihaloho

Sastra Indonesia C 2022

Mentari sore memantul jingga di dinding rumah Bolon yang kokoh. Di baliknya, di sebuah kamar dengan jendela menghadap ke hamparan sawah yang mulai menguning, duduklah seorang gadis yang bernama Bunga. Si Boru Panggoaran, anak perempuan pertama dalam keluarga Siregar nan elok rupanya. Bunga juga tumpuan pertama orang tuanya, namun di balik kehormatan itu, tersembunyi pula rantai aturan adat yang terasa begitu mengikat. Usianya baru menginjak tujuh belas, namun sorot matanya menyimpan lebih banyak cerita daripada usianya.

Ayahnya, Ama ni Bunga, adalah seorang pria Batak Toba yang menjunjung tinggi adat dan tradisi. Baginya, perempuan Batak haruslah menjadi parumaen na burju (artinya: menantu perempuan yang baik), yang kelak akan menjaga nama baik keluarga suaminya. Pendidikan tinggi dan mengejar cita-cita di luar kodrat perempuan seolah menjadi momok yang menakutkan.

Ingot ma, Bunga,” (artinya: “Ingatlah, Bunga”) seringkali Ama ni Bunga berujar dengan suara beratnya, “Holan tammat SMA do sikkolam. Dungkon i, ingkon paradeon do gabe istri na burju. Inganan ni borua di jabu, mangurus tungganedolina dohot ianakhonna.” (artinya: “Kamu hanya lulus SMA. Setelah itu, kamu harus siap menjadi istri yang baik. Tugas seorang wanita adalah di rumah, mengurus suami dan anak-anaknya.”)

Kata-kata itu bagai duri yang menusuk hati Bunga. Ia memiliki mimpi setinggi langit. Ia ingin menjadi seorang arsitek, merancang bangunan-bangunan indah yang mengagungkan tanah Batak. Ia gemar membaca buku-buku tentang desain dan sejarah arsitektur, diam-diam mencorat-coret sketsa di buku catatannya. Mimpinya itu seolah terbentur tembok kokoh bernama adat.

Ibunya, Ina ni Bunga, meskipun hatinya lebih lembut, tetaplah terikat pada aturan yang sama. Ia percaya bahwa apa yang dikatakan suaminya adalah yang terbaik untuk anak-anaknya, terutama untuk Bunga. Ia menasihati sambil mengelus rambut Bunga yang panjang, “Borukku, holan ikuti amangmu ma. Nunga diboto Amongmu dalan ni ngolu on.” (artinya “Anakku, ikuti saja ayahmu. Ayahmu sudah tahu jalan hidup.”)

Hari-hari Bunga terasa monoton. Sekolah, membantu pekerjaan rumah, dan sesekali menemani ibunya ke ladang. Pergaulannya pun dibatasi. Teman-teman laki-lakinya dianggap tabu, dan keluar rumah tanpa alasan yang jelas akan menimbulkan pertanyaan panjang dari ayahnya. Telepon genggam yang dimilikinya pun hanya berfungsi untuk keperluan sekolah dan komunikasi terbatas dengan keluarga.

Suatu sore, Bunga memberanikan diri untuk mengungkapkan mimpinya kepada ibunya. Dengan suara bergetar, ia menunjukkan sketsa-sketsa bangunan impiannya. Ina ni Bunga menatap gambar-gambar itu dengan tatapan sendu.

“Borukku, nipi do tutu na uli”, (artinya: “Anak perempuanku, mimpi itu sungguh indah”) kata ibunya pelan, “Alai di portibi na asing do hita mangolu. Songon borua Batak, nunga ditontuhon dalanmu. Unang ma mambahen hansit roham ala ni panghirimon na maol dapot.” (artinya: “Tetapi kita hidup di dunia yang berbeda. Sebagai gadis Batak, jalan hidupmu sudah ditentukan. Jangan sakiti dirimu dengan harapan yang sulit dicapai.”)

Kata-kata ibunya bagai palu godam yang menghancurkan sebongkah harapan dalam diri Bunga. Ia terdiam, air matanya tertahan di pelupuk mata. Ia merasa seperti burung dalam sangkar emas, memiliki segala kebutuhan materi, namun kehilangan kebebasan untuk terbang.

Semangat Boru Panggoaran tidak mudah padam. Diam-diam, di sela-sela kesibukannya, Bunga terus belajar dan menggali informasi tentang arsitektur. Ia meminjam buku dari perpustakaan sekolah dan membacanya sembunyi-sembunyi di balik jendela kamarnya saat malam menjelang. Ia yakin bahwa suatu saat nanti, ia akan menemukan cara untuk mewujudkan mimpinya, meskipun jalan yang harus ditempuhnya mungkin tidak mudah.

Suatu hari, ada acara adat besar di kampung mereka. Bunga melihat bagaimana para arsitek lokal dengan bangga menjelaskan makna ukiran-ukiran Batak di rumah Bolon. Ia terpesona dengan pengetahuan dan semangat mereka dalam melestarikan warisan budaya. Tiba-tiba, sebuah ide cemerlang muncul di benaknya.

Ia mendekati salah satu arsitek dan dengan sopan bertanya tentang pendidikan dan bagaimana ia bisa berkecimpung di dunia arsitektur dengan tetap menghormati adat Batak. Dengan senyum sopan, ia memulai percakapan, “Selamat siang, Pak. Maaf ya kalau mengganggu sebentar. Penjelasan Bapak soal arti ukiran-ukiran tadi keren banget deh. Kayak, budaya kita tuh bener-bener kaya ya.”

Bapak arsitek menoleh, senyum ramah sambil mengangguk, “Selamat siang, Nak. Iya, terima kasih. Memang udah jadi tugas kami untuk menjaga sama menurunkan pemahaman nilai-nilai luhur ini ke generasi muda kayak kamu.”

“Saya tertarik banget sama arsitektur tradisional Batak ini, Pak. Melihat setiap detailnya punya filosofi mendalam tuh bikin saya ingin belajar lebih banyak. Kalau boleh tahu, Bapak dulu gimana sih kok bisa menekuni bidang ini? Ada jalur pendidikan khusus gitu, Pak?”, tanya Bunga.

Arsitek jawab, “Oh, tentu ada, Nak. Saya sendiri sekolah di bidang arsitektur. Tapi, ketertarikan sama pemahaman mendalam soal adat dan budaya Batak ini udah saya dapat dari kecil, dari keluarga sama lingkungan sekitar. Pendidikan formal itu memberi dasar teori sama teknis, tapi pemahaman nilai-nilai budaya itu kayak jiwanya.”

Bunga menyahutnya, “Jadi, Bapak menyatukan ilmu arsitektur modern sama kearifan lokal ya? Wah, itu inspiratif banget. Saya juga ingin banget bisa ikut melestarikan warisan budaya kita lewat arsitektur. Kira-kira ada program studi atau beasiswa yang bisa saya pertimbangkan, Pak?”

“Bagus banget kalau kamu punya minat sebesar itu, Nak. Ada beberapa Universitas yang punya program studi arsitektur dengan peminatan atau mata kuliah yang tersambung sama arsitektur tradisional. Kamu bisa cari info soal program studi Arsitektur yang fokusnya ke Vernacular Architecture atau Heritage Conservation”, jawab Bapak arsitek sambil memberi pengertian.

Bapak arsitek berpikir sejenak, “Selain itu, setahu saya, ada beberapa beasiswa yang ditawari sama pemerintah daerah atau yayasan-yayasan yang peduli sama pelestarian budaya. Biasanya, info kayak gini bisa kamu dapati dari dinas pendidikan atau lewat website resminya Universitas.”

“Wah, info ini membantu banget, Pak. Makasih banyak ya. Ada saran lain nggak ya, Pak, buat orang seperti saya yang ingin belajar arsitektur sambil tetap menghormati sama melestarikan adat Batak?”, tanya Bunga penasaran.

Bapak arsitek menjawab dengan penuh perhatian layaknya menasihati anaknya sendiri, “Tentu. Yang paling penting itu terus belajar sama mencari tahu lebih banyak. Jangan hanya fokus sama buku atau kuliah aja, tapi juga aktif mengobrol sama tokoh-tokoh adat, pengrajin ukiran, sama komunitas-komunitas yang bergerak di bidang pelestarian budaya. Dengan begitu, kamu bakal dapat pemahaman yang lebih menyeluruh.”

“Saya mengerti, Pak. Jadi, ini bukan hanya soal gambar sama bangun aja, tapi juga soal memahami filosofi sama nilai-nilai di baliknya ya?”, Bunga memastikan kembali.

“Betul banget, Nak. Arsitektur tradisional Batak itu bukan hanya sekadar bangunan, tapi juga representasi dari identitas, sejarah, sama nilai-nilai sosial masyarakatnya. Kalau kamu bisa memahami sama menghargai itu, karya-karyamu nanti pasti bakal punya jiwa”, Bapak arsitek senyum.

“Terima kasih banyak atas waktu sama sarannya ya, Pak. Obrolan ini bener-bener membuka wawasan saya dan makin bikin saya semangat buat belajar lebih giat,” jawab Bunga dengan antusias.

“Sama-sama, Nak. Saya senang melihat semangat kamu. Jangan ragu buat bertanya lagi kalau ada hal lain yang pengen kamu tahu. Semoga sukses ya!” Arsitek mengacungkan kedua jempolnya dengan senyuman.

Bunga tersenyum penuh semangat dengan pikiran yang penuh dengan ide dan harapan, kemudian berterima kasih sekali lagi kepada sang arsitek. Sang arsitek, terkesan dengan minat dan pengetahuannya, memberikan beberapa saran dan informasi tentang beasiswa dan program studi yang relevan.

Bunga pulang dengan hati berdebar. Ia tahu, jalan di depannya masih panjang dan penuh tantangan. Percakapan dengan sang arsitek telah menyulut kembali api mimpinya. Ia mulai menyusun rencana, mencari informasi tentang beasiswa yang mungkin bisa ia raih.

Bunga menyadari bahwa ia tidak bisa memberontak secara langsung terhadap aturan orang tuanya. Ia harus mencari cara yang lebih halus, menunjukkan bahwa mengejar mimpinya tidak berarti melanggar adat dan tradisi. Ia ingin membuktikan bahwa seorang Boru Panggoaran juga bisa berprestasi dan mengharumkan nama keluarga dengan caranya sendiri.

Malam itu, di bawah rembulan yang bersinar lembut, Bunga kembali membuka buku catatannya. Ia tidak lagi hanya menggambar sketsa bangunan impiannya, tetapi juga mulai menuliskan langkah-langkah yang harus ia ambil untuk menggapainya. Ia adalah Boru Panggoaran di balik kelembutan hatinya, tersimpan tekad yang sekuat ukiran di gerbang rumah Bolonnya. Ia akan mencari celah di antara aturan yang mengekang, membuktikan bahwa mimpi seorang gadis Batak juga berhak untuk terbang tinggi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *