Posted in

Si Purba dan Harimau Penjaga Hutan

Juliana Adelina Purba

Sastra Indonesia C 2022
https://www.instagram.com/juliana_purba02

Pada zaman dahulu, di sebuah huta kecil yang terletak di lembah indah tanah Simalungun, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Si Purba. Huta itu dikelilingi oleh hutan lebat yang tak terjamah tangan manusia. Pohon-pohon tinggi menjulang, dan aliran sungai yang jernih mengalir melintasi tanah itu. Si Purba tinggal bersama neneknya, Inang Duma, seorang wanita tua yang bijaksana dan dihormati oleh seluruh warga desa. Inang Duma bukan hanya seorang penenun ulos yang pandai, tetapi juga seorang yang selalu mengajarkan tentang adat dan tradisi kepada Si Purba.

Suatu hari, saat matahari mulai terbenam, Inang Duma mengingatkan Si Purba, seperti yang selalu ia lakukan.

“Jangan pernah masuk lebih dalam ke hutan, Purba. Di sana tinggal Harimau Ongga, penjaga hutan yang sangat kuat dan memiliki kekuatan gaib. Ia hanya akan muncul jika manusia melanggar batas yang telah ditetapkan oleh leluhur kita.”

Si Purba yang penasaran hanya mengangguk. Ia tidak terlalu mempercayai cerita itu. Ia menganggapnya sebagai cerita untuk menakut-nakuti anak-anak. Namun, rasa ingin tahunya tentang hutan dan segala keajaibannya tak bisa terbendung. Ia memutuskan suatu hari untuk pergi sendiri ke dalam hutan yang dilarang itu.

Pada suatu sore yang mendung, ketika kabut mulai turun di antara pepohonan, Si Purba menyelinap pergi ke dalam hutan. Ia menyusuri jalan setapak yang tertutup akar-akar pohon besar dan daun-daun lebat. Semakin dalam ia berjalan, semakin sunyi hutan itu. Tiba-tiba, ia melihat sebuah pohon besar yang sangat tua, lebih besar dari pohon-pohon lainnya. Pohon itu tampak seperti menyembunyikan rahasia, dengan akar-akar yang menjulur keluar seolah menyentuh tanah dengan penuh misteri.

Ketika Si Purba mendekat, tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Sebuah bayangan besar muncul dari balik semak-semak. Seekor harimau putih dengan mata hijau yang tajam melangkah keluar, menghadap Si Purba. Harimau itu bukanlah harimau biasa ia memiliki aura yang sangat kuat.

“Aku Ongga, penjaga hutan ini,” suara harimau itu menggema di udara. “Mengapa kau datang ke tempat yang tidak seharusnya dimasuki oleh manusia?”

Si Purba, meski takut, tetap berkata dengan jujur, “Aku hanya ingin tahu, Harimau Ongga. Kenapa hutan ini begitu sakral dan mengapa manusia dilarang masuk ke dalamnya?”

Ongga menatapnya dengan penuh kebijaksanaan. “Hutan ini bukan hanya sekedar pohon dan binatang. Ini adalah rumah bagi roh-roh leluhurmu, tempat di mana kehidupan dan alam saling terhubung. Jika hutan ini rusak, maka manusia akan kehilangan jati dirinya. Mereka akan lupa siapa mereka sebenarnya.”

Setelah itu, Ongga tidak mengusir Si Purba, malah mengajaknya berkeliling hutan, memperlihatkan keindahan yang tersembunyi. Si Purba belajar banyak hal tentang alam, mulai dari nama-nama pohon hingga bagaimana cara membaca suara alam dan mengetahui tanda-tanda perubahan cuaca. Ia belajar bahwa hutan memiliki bahasa sendiri, dan hanya mereka yang memiliki hati yang bersih yang bisa mendengarnya.

Namun, beberapa waktu kemudian, datanglah orang-orang dari luar huta. Mereka membawa gergaji besar dan mesin untuk menebang pohon. Mereka menawarkan kekayaan dan ladang baru kepada warga huta, dan banyak yang tergoda untuk menebang pohon-pohon tua demi keuntungan pribadi. Meskipun Si Purba berusaha mengingatkan mereka akan bahaya yang akan datang, banyak yang tidak percaya dan terus melanjutkan pekerjaan mereka.

Hari demi hari, pohon-pohon besar yang sudah ratusan tahun berdiri mulai tumbang. Burung-burung yang dulu tinggal di hutan terbang pergi. Sungai yang biasanya jernih mulai keruh dan tidak mengalir dengan lancar. Warga desa mulai merasakan perubahan itu, tapi mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Suatu malam, saat bulan purnama bersinar terang, Si Purba kembali ke hutan. Ia berharap bisa bertemu dengan Ongga untuk meminta bantuan. Namun, ketika ia tiba di pohon besar tempat pertama kali ia bertemu Ongga, harimau itu tidak ada di sana. Hutan terasa sunyi, dan udara terasa berat.

Si Purba berjalan lebih dalam, dan akhirnya ia menemukan jejak kaki harimau putih di tanah yang retak. Ia tahu bahwa Ongga tidak akan muncul lagi, karena manusia telah melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh leluhur mereka.

Dengan hati yang penuh penyesalan, Si Purba kembali ke desa. Ia mengumpulkan warga dan menceritakan semuanya. Meski awalnya mereka meragukan cerita Si Purba, ketika tanah mulai retak dan hasil panen gagal, mereka mulai menyadari bahwa keserakahan mereka telah merusak keseimbangan alam.

Akhirnya, Si Purba memimpin warga desa untuk menanam kembali pohon-pohon yang telah hilang. Mereka bekerja keras siang dan malam untuk memulihkan hutan. Warga belajar untuk hidup selaras dengan alam, dan sedikit demi sedikit, hutan kembali hidup.

Sejak saat itu, setiap malam bulan purnama, Si Purba duduk di tepi hutan, berharap Ongga akan kembali untuk mengawasi mereka. Konon, hingga kini, jika kau berjalan ke hutan saat fajar, kau bisa melihat bayangan harimau putih yang berjalan pelan di antara pohon-pohon, sebagai tanda bahwa alam telah kembali seimbang, dan bahwa Ongga masih menjaga hutan.

Waktu terus berlalu, dan Si Purba semakin dikenal oleh masyarakat Simalungun sebagai tokoh penjaga alam. Ia tidak hanya menggerakkan warga untuk menanam pohon, tetapi juga mengajarkan mereka membuat batas-batas hutan yang tidak boleh dilanggar. Anak-anak diajari menyulam daun, membaca bintang, dan mengenali tanaman obat. Hutan tak lagi sekadar tempat berburu atau mencari kayu, melainkan tempat belajar dan berdoa.

Inang Duma, meskipun telah renta, merasa bahagia menyaksikan perubahan yang dibawa oleh cucunya. Ia sering berkata, “Jika kita hidup selaras dengan alam, maka alam pun akan memberikan kehidupan yang tak terhingga.”

Di tengah perjuangan Si Purba menanam kembali pohon-pohon dan memulihkan hutan, muncullah seorang gadis dari huta sebelah bernama Murni Saragih. Ia dikenal sebagai penari tortor dan penyanyi tradisi. Murni datang ke huta karena mendengar cerita tentang pemuda bernama Si Purba yang mencoba menyelamatkan hutan. Awalnya, ia hanya berniat membantu menanam pohon dan menyembuhkan beberapa warga dengan ramuan turun-temurun keluarganya.

Namun, seiring waktu, hubungan antara Si Purba dan Murni mulai tumbuh. Mereka sering bertukar cerita saat senja, duduk di bawah pohon tua sambil mendengarkan suara alam. Murni adalah satu-satunya orang yang bisa membuat Si Purba tersenyum di tengah tekanan berat dari warga. Tapi, cinta mereka tidak mudah.

Di suatu malam, ketika mereka sedang berbicara di tepi hutan, Murni menemukan kalung berukir tengkorak kecil yang terkubur sebagian di tanah. Saat disentuh, angin berdesir keras dan hutan mendadak sunyi. Inang Duma yang melihat kalung itu langsung pucat dan berkata,

 “Itu adalah tanda kutukan dari zaman purba… Kalung Pangulubalang. Dulu, kalung itu digunakan untuk mengikat roh penjaga agar tunduk pada manusia. Jika telah ditemukan kembali, maka roh-roh marah akan bangkit.”

Beberapa hari kemudian, bencana datang. Gunung kecil yang berada di dekat huta mulai mengeluarkan asap. Gemuruh terdengar setiap malam. Binatang-binatang hutan berlarian turun ke desa. Awan hitam menggantung di atas pohon-pohon, dan suara-suara aneh terdengar dari hutan saat malam tiba tangisan, bisikan, hingga jeritan yang tidak seperti manusia maupun binatang.

Si Purba merasa bersalah. Ia tahu sesuatu telah bangkit, sesuatu yang bahkan Ongga tidak mampu menenangkan. Ia kembali ke hutan bersama Murni, mencoba mencari jawaban. Mereka menemukan sebuah gua tersembunyi di balik air terjun, tempat yang konon dulunya menjadi altar persembahan kepada leluhur penjaga alam.

Di dalam gua, terdapat ukiran tua yang menggambarkan perang antara manusia serakah dan para penjaga hutan. Salah satu penjaga digambarkan sebagai harimau putih dan burung bersayap cahaya. Ukiran terakhir menggambarkan seorang pemuda dan gadis menenangkan alam dengan mengorbankan diri mereka.

Murni menatap Si Purba dan berkata, “Mungkin ini takdir kita…”

Namun Si Purba menolak menyerahkan cinta mereka pada takdir tragis. Ia memilih untuk mencari cara lain. Ia membawa kembali kalung tengkorak ke hutan dan menguburnya di bawah pohon tertua sambil menyanyikan lagu-lagu pujian dari Inang Duma. Seluruh warga berkumpul dan menyanyikan umpasa, lagu ritual pemulihan. Mereka meminta maaf, memohon perlindungan, dan berjanji menjaga hutan.

Awan hitam perlahan menipis, hujan turun dengan derasnya, dan dari balik kabut, Ongga muncul kembali. Tapi kali ini tidak sendiri di belakangnya, muncul seekor harimau betina dan burung-burung bercahaya yang mengitari huta. Ongga menatap Si Purba dan Murni, lalu berkata, “Cinta yang tulus, dan pengorbanan yang tidak memakan jiwa, mampu mengikat kembali dunia manusia dan roh penjaga.”

Tahun demi tahun berlalu. Si Purba dan Murni menikah, tinggal di tepi hutan, dan melahirkan generasi baru yang menghormati alam. Mereka menjadi penjaga baru hutan, bukan dengan kekuatan, tetapi dengan cinta dan pengetahuan. Legenda mereka hidup di setiap cerita, dan festival Ongga kini juga dikenal sebagai Festival Cinta Alam, mengenang dua manusia yang menolak tunduk pada kutukan, dan memilih menyembuhkan dunia bersama.

Konon, jika malam tiba dan kau mendengar suara suling di hutan Simalungun, itu adalah nyanyian Murni untuk Si Purba dan jika angin berdesir, harimau putih pun tengah berpatroli, menjaga mereka dari dunia yang tak kasat mata.

Murni adalah gadis penabuh suling dari dusun sebelah, yang dulu diam-diam mencintai Si Purba. Ia tak pernah mengucapkan perasaannya, hanya menitipkannya dalam nada-nada sendu yang ditiupkannya setiap malam dari tepi bukit. Setelah Si Purba menyatu dengan alam, Murni tetap memainkan sulingnya setiap bulan purnama, menghadap hutan, mengharap suaranya sampai pada roh lelaki yang diam-diam telah ia cintai seumur hidup.

“Aku tak pernah meminta untuk dimiliki, Purba,” bisiknya suatu malam saat kabut turun lembut di kakinya, “aku hanya ingin kau tahu bahwa selama hutan tetap hidup, nadaku akan selalu menjagamu.”

Dan orang-orang yang tinggal di desa sekitar percaya: jika suara suling terdengar samar dari arah timur hutan, maka hujan akan turun tiga hari kemudian. Mereka juga percaya bahwa jika seseorang berjalan sendiri ke dalam hutan dengan niat jahat, maka harimau putih perwujudan Ongga yang kini menjelma penjaga abadi akan mengusirnya tanpa ampun.

Beberapa orang bahkan mengaku melihat sepasang bayangan melintasi kabut: seorang pria bertongkat kayu dengan mata tenang, dan seorang perempuan berbaju putih memainkan suling bambu. Mereka berkata, itu adalah roh Si Purba dan Murni yang akhirnya bersatu, menjaga harmoni antara manusia dan alam.

Kini, di sekolah-sekolah Simalungun, kisah ini diajarkan bukan sekadar cerita rakyat, tapi sebagai pengingat bahwa cinta, kesetiaan, dan hubungan manusia dengan alam adalah warisan yang tak boleh dilupakan. Di pintu masuk hutan, berdiri sebuah batu besar dengan ukiran:

“Selama suara hutan masih bisa kau dengar, maka harapan tak akan pernah hilang.”

Dan di bawahnya, dalam tulisan kecil, tertera:

“Didengarkan oleh daun, dinyanyikan oleh suling Murni, dijaga oleh harimau Ongga.”

Jika suatu hari kau berniat memasuki hutan Simalungun, jangan takut. Tapi masuklah dengan hati yang bersih, dan mungkin kau akan mendengar suling dari kejauhan… dan merasakan desiran angin hangat yang membawa pesan dari mereka yang telah menjaga bumi ini jauh sebelum kau lahir.

Dua puluh lima tahun telah berlalu sejak suara suling terakhir Murni bergema di tepi hutan Simalungun. Pohon-pohon telah tumbuh kembali, sungai mengalir jernih seperti pertama kali para leluhur menginjakkan kaki di tanah itu. Tapi Si Purba dan Murni sudah lama menyatu dengan tanah dan kabut, menjadi roh penjaga yang tak terlihat, hanya terasa oleh mereka yang hatinya cukup murni untuk mendengarnya.

Namun warisan mereka belum berakhir. Dari cinta Si Purba dan Murni, lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Darma Ongga mengambil nama dari harimau putih yang dahulu menjadi penjaga hutan dan sahabat ayahnya.

Darma tumbuh berbeda dari anak-anak lainnya. Sejak kecil ia mampu berkomunikasi dengan hewan, dan tidur hanya jika suara hutan menyanyikannya lagu. Ia tidak suka tinggal di rumah lama-lama, lebih senang menghabiskan waktunya menyusuri akar-akar tua, membaca jejak kaki di tanah, dan menyimak bisikan angin. Inang Duma, yang saat itu telah sangat tua dan sering duduk diam di bale-bale bambu, selalu berkata, “Darma bukan hanya anak Murni. Ia adalah titisan roh penjaga.”

Orang-orang desa mulai memanggilnya Sibaso Hutan, karena Darma dapat menyembuhkan luka hanya dengan menyentuh tanah, dan tahu kapan hujan akan datang hanya dengan menempelkan telinganya ke batang pohon. Tapi tidak semua orang mempercayainya. Dunia telah berubah. Teknologi mulai masuk ke desa. Anak-anak mulai bermain dengan layar, bukan lumpur. Hutan kembali menjadi sekadar latar, bukan ruang hidup.

Suatu hari, Darma menemukan benda tua yang terkubur di dekat air terjun tempat gua lama berada. Sebuah potongan suling bambu, retak tapi masih utuh nadanya. Saat ditiup, suara sendu terdengar kembali, sama seperti yang dulu ditiup ibunya, Murni.

Ketika ia meniupnya di tengah hutan, kabut datang lebih cepat dari biasanya. Dan dari balik pepohonan, muncullah bayangan harimau putih, namun bukan Ongga. Ini lebih kecil, lebih lincah, matanya berwarna kuning emas. Harimau itu berjalan ke arah Darma, kemudian duduk diam di hadapannya.

“Ayahmu menitipkan ini padaku,” bisik suara lembut di kepala Darma.
Harimau itu adalah Anak Ongga, yang lahir tak lama setelah roh penjaga dan manusia terakhir menyatu dengan alam. Sejak itu, ia mencari anak manusia yang memiliki darah penjaga sejati.

Waktumu telah tiba, Darma,” ujar sang harimau. “Hutan butuh penjaga baru.”

Hari-hari damai telah berubah. Jalan besar mulai dibangun menembus bukit, menggusur mata air. Investor luar datang membawa janji kesejahteraan, namun di baliknya tersembunyi keserakahan. Beberapa warga yang lupa sejarah leluhurnya mulai menjual tanah adat. Mereka tak percaya lagi pada Ongga, apalagi pada dongeng tentang suling dan roh.

Darma tak tinggal diam. Bersama harimau muda, ia mengumpulkan anak-anak muda yang masih peduli. Mereka belajar dari kitab peninggalan Inang Duma, membuat peta batas adat, menanam kembali pohon langka, dan merekam suara hutan sebagai bukti ekosistem yang hidup.

Ia juga membentuk “Sahabat Suling Murni, kelompok yang mengajarkan anak-anak meniup suling dan membaca tanda-tanda alam. Mereka mendirikan sekolah hutan, tempat belajar tidak dengan buku, tapi dengan mendengar, meraba, mencium, dan merasakan.

Namun, ujian datang. Salah satu pengembang besar memaksa membuka lahan di lereng bukit, tempat gua tua berada. Mereka ingin membangun resort mewah, dan berencana memindahkan batu besar dengan ukiran legenda Ongga. Ketika batu itu digeser, tanah berguncang hebat. Asap keluar dari retakan. Sungai tiba-tiba meluap. Dan malam itu, suling Darma mengeluarkan suara sendiri, meski tak ditiup.

“Roh telah terbangun,” kata harimau penjaga muda dengan mata menyala.

Darma tahu, ini bukan lagi soal menyelamatkan hutan. Ini tentang menyelamatkan warisan. Maka ia memimpin ritual besar, menyatukan warga dan alam sekali lagi. Mereka menyanyikan umpasa lama, menabuh gondang sabangunan, meniup suling-suling dari bambu tua.

Dan ketika suara suling mencapai puncak nadanya, kabut turun perlahan. Dari kabut itu, dua sosok muncul bayangan Si Purba dan Murni. Mereka tidak berkata apa-apa, hanya menatap Darma dan tersenyum, sebelum berubah menjadi cahaya dan menyatu dalam tubuh anak mereka.

Sejak malam itu, Darma menjadi penjaga baru, tak hanya bagi hutan Simalungun, tetapi juga bagi ingatan manusia terhadap alam. Kini di huta-huta kecil Simalungun, anak-anak diajari:

“Jangan hanya tahu membaca buku, tapi belajarlah juga membaca dedaunan.”
“Jangan hanya mendengar musik, tapi dengarkan juga nyanyian angin.”
“Dan jika suatu hari kau dengar suling di tengah malam, berhentilah sejenak itu Darma, melanjutkan nyanyian ibunya, menjaga ayahnya, dan menjaga kita semua.”

Dan legenda baru pun hidup kembali. Kini, di bawah batu besar itu, ditambahkan satu baris lagi:

“Darma Ongga, darah penjaga, suara masa depan.”

Jika suatu hari kau masuk ke hutan Simalungun dengan hati yang jujur dan niat yang murni, mungkin kau akan melihat seekor harimau muda dan pemuda bersuling berjalan berdampingan. Maka ketahuilah, hutan masih dijaga… dan harapan belum padam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *