Posted in

Cucu Perempuan Sang Nenek

Septianirita Sari Simbolon

Sastra Indonesia C 2022
https://www.instagram.com/septi_simbolonn

Angin bertiup kencang di halaman depan rumah bolon yang berdiri di tepi danau di samosir dan berhembus masuk ke sela-sela rumah papan Ompung. Daun-daun mangga berguguran dan menyentuh tanah yang basah setelah hujan semalam. Uli gadis remaja yang berusia 17 tahun, yang duduk bersadar di dipapan rumahnya. Ia lahir dan besar di rumah ini. Kedua orang tuanya pergi ke Medan sejak ia berumur dua tahun. Alasannya jelas, katanya untuk bekerja dan membesarkan adik laki- lakinya yang lebih “perlu perhatian” ya emang sih karena baru lahir. Tapi semakin tahun, semakin terasa bahwa ia hanyalah anak yang ditinggalkan.

Ompung borunya namanya marida tetapi sering dipanggil ompung uli karena uli adalah cucu pertamanya. Ompung ini adalah satu-satunya sosok yang selalu ada bagi uli. Setiap hari mereka manonon ulos yang artinya menenun ulos atau bisa juga membuat ulos, mereka melakukan pekerjaan nya dengan penuh semangat sambil menceritakan tentang pariban, dalihan natolu dan bagaimana seorang perempuan Batak harus kuat.

Namun, tubuh ompung tak lagi sama seperti dulu. Jalannya pelan, kadang lupa hari, kadang juga lupa cerita padahal cerita itu dia sendiri yang ceritain haha. Uli tau waktu memang tidak bisa dihentikan. tapi bagaimana mungkin meninggalkan ompung yang telah menggantikan seluruh dunia yang tak pernah menyambutnya? Di sisi lain, umurnya sekarang sudah menjelang dewasa, dan sekarang juga dia memiliki kekasih kepada sosok muda yang bernama sahat, teman sekelas nya SMA. Sahat ini mendapatkan beasiswa ke Jakarta, dan memintanya untuk ikut bersama dia “ikutlah bersamaku, kita bisa tinggal disana” ucap sahat dengan penuh harap. Tetapi tidak ada jawaban dari Uli.

Tapi malam itu, saat Uli menyiapkan air hangat untuk ompungnya yang batuk semakin sering, setelah ompung tertidur dengan batuk pelan dan selimut membungkus tubuhnya, Boru duduk di dekat lampu teplok. Suara riak danau masuk lewat jendela, menyatu dengan dentingan hati yang mulai sesak. Ia memandangi buku tulis bekas sekolah, lalu merobek selembar halaman belakangnya. Pena bergetar di tangannya ia tahu tidak semua cinta harus pergi untuk tumbuh. Beberapa cinta justru bertahan karena memilih tinggal.

Ia tidak tahu bagaimana harus mengucapkan semua ini, tapi dia terpaksa harus menuliskannya, “Aku tak bisa ikut ke Jakarta. Bukan karena aku tidak mau bersamamu, tapi karena aku tak bisa membiarkan ompung menua dan pergi sendiri, tanpa ada yang menggenggam tangannya. Kalau benar hatimu tulus, kau pasti tahu bahwa cinta bukan hanya tentang bersama, tapi tentang setia meski pada jarak dan waktu.

Aku akan tetap di sini, menenun ulos seperti ompung, menyambut pagi dengan suara ayam dan semangat yang tidak mudah patah. Aku tak meminta kau menunggu, tapi jika kau pulang suatu hari nanti dan masih ingin melanjutkan cerita kita, aku akan ada di sini.” Tulis Uli.

Pagi datang dengan pelan. Matahari muncul malu-malu dari balik bukit, menyinari kabut tipis yang masih menyelimuti desa. Uli duduk di tangga kayu rumahnya, membawa surat yang semalam ia tulis.

Tangannya gemetar, bukan karena udara dingin, tapi karena beratnya keputusan yang ia tuliskan. Ompung Uli sudah terbangun, batuknya terdengar pelan dari dalam. Suara sendalnya menyeret di lantai kayu.

“Uli… sudah bangun kau? Mari minum kopi dulu. Kau jangan banyak termenung, nanti dimakan rindu,” ujar ompungnya sambil menyodorkan cangkir stainless bermotif bunga.

Uli tersenyum tipis, “Ia, Ompung. Rindu ini sudah terlalu lama dipendam di hati Ompung,” katanya sambil menyentuh dadanya. Mereka duduk bersama, hanya berdua seperti biasanya.

Hari itu, Uli mengantar surat itu ke kantor pos kecil di Samosir. Ia tak tahu kapan Sahat akan membalas, atau apakah ia akan mengerti isi hatinya. Tapi menulis surat itu membuat hatinya lebih tenang karena ia tahu, karena ini dalam hidupnya, ia memilih bukan karena dia ditinggalkan, tapi karena ia memilih bertahan.

Beberapa tahun kemudian tepat Uli berumur 23 Tahun Ia tidak berharap suratnya dibalas tidak semua cinta tahu jalan pulang, pikirnya. Suatu pagi yang lain, saat ompung sudah tidur lagi setelah minum obat, Uli menyapu halaman. Angin berhembus ringan. Tak ada yang istimewa, sampai ia melihat sosok itu di ujung jalan desa membawa ransel dan wajah lelah, wajah yang terlalu susah untuk dilupakan. Tapi langkah demi langkah pelan terdengar dari arah jalan ujung desa.

Sahat tak langsung mendekat dia berdiri diam, memandang rumah itu seakan-akan takut.

Akhirnya Uli membuka suara lebih dulu, lirih, nyaris patah, “Apa kau tersesat Ito?”

Sahat mengangkat sedikit bahu, senyum tipis muncul di bibirnya. “Mungkin. Tapi lebih mungkin… aku menemukan jalan pulang.”

Uli memalingkan wajahnya. Matanya mulai basah, tapi ia tak ingin terlihat rapuh.

Sahat melangkah pelan, lalu berhenti di depannya. “Aku baca suratmu berkali-kali. Di Jakarta suhunya memang panas tapi tak ada hangatnya. Kau benar, cinta tak selalu harus pergi. Aku ingin tinggal jika kau izinkan.” Hening sejenak. Angin berhembus membawa suara lonceng dari gereja di seberang danau. Uli menarik napas panjang, lalu menatapnya lurus.

“Kalau kau memilih tinggal, berarti kau harus belajar menenun ulos sama aku, ya?” ucap Uli sambil menyembunyikan senyum kecilnya.

Sahat tertawa pelan, lalu mengangguk. “Asal bisa duduk di sebelahmu tiap hari, aku rela belajar dari nol.” Dari balik jendela, Ompung Uli mengintip dengan mata berkaca-kaca. Tangannya memeluk ulos tua peninggalan suaminya. Ia berbisik lirih, seperti bicara pada langit. “

Sudah ada yang akan jaga cucuku sekarang. Tuhan memang tak pernah buru-buru, tapi Dia selalu datang di waktu yang tepat.”

Sebulan setelah kedatangan Sahat, suasana rumah Ompung Uli berubah. Suara tawa sesekali terdengar dari rumah. Sahat benar-benar belajar menenun, meski benangnya sering kusut dan hasilnya miring- miring.

Suatu sore, Sahat dan Uli duduk berdua di bawah pohon mangga yang rindang, tak jauh dari rumah Uli. Sahat menatap Uli, lalu tersenyum kecil.

“Uli,” katanya lirih, “Aku bukan orang kaya tapi aku sudah punya pekerjaan yang cukup. Banyak orang bilang, saatnya aku cari pasangan yang bisa dibanggakan keluarga, yang sepadan di mata orang.”

Uli menunduk. Suaranya mulai pelan, “Terus, kenapa kau datang ke sini?”

Sahat tersenyum, lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya. Isinya, sebuah cincin emas polos, tanpa batu permata, tanpa ukiran mahal.

“Karena aku nggak cari yang dipuji orang. Aku cari yang hatinya tulus dan sabar… dan itu kau,” ujarnya pelan. “Cincinnya memang sederhana. Tapi aku mau segala sesuatu tentang kita dimulai bukan dari harga, tapi dari hati.”

Uli menatap cincin itu sederhana, ya. Tapi tangannya bergetar saat menerimanya.

“Ini bukan soal berapa harganya, Sahat. Tapi soal siapa yang memberikannya, dan kenapa.” Uli mengulurkan tangan kanannya, “Aku terima, karena aku juga mau selalu ada di sampingmu”.

Sahat menyematkan cincin itu dengan pelan. Tak ada fotografer, tak ada pesta mewah. Hanya suara angin, dan hati yang mengikat janji.

Dari kejauhan, Ompung Uli melihat dari jendela. Ia tersenyum haru. Dalam hatinya ia berdoa, “Tuhan, beri mereka kekuatan. Karena cinta yang kuat, bukan yang mahal, tapi yang mau bertahan.”

Beberapa hari setelah Uli menerima cincin dari Sahat, keluarga Sahat datang dengan sopan dan lengkap. Ada tulang, amangboru, dan beberapa kerabat dekat. Mereka membawa buah tangan, seperti ikan mas dan ulos yang dibungkus rapi. Di ruang tamu yang hangat, mereka duduk bersama keluarga Uli untuk manghata hepeng membicarakan mahar dan rencana adat ke depannya.

Obrolan penuh hormat dan kekeluargaan. Bukan soal angka besar, tapi soal penghargaan dan niat baik.

Tulang Uli berkata dengan senyum, “Ndang halak na patera-terahon harta si Sahat on, Alai tarida do tulus ni rohana.” (Sahat memang bukan orang yang pamer kekayaan, tapi terlihat jelas niat baiknyabaiknya).

Setelah semua disepakati, ditentukanlah tanggal untuk martumpol. Hari itu jatuh di Senin pagi, di gereja kecil di desa yang biasa mereka beribadah sejak kecil.

Pada hari martumpol, Uli mengenakan kebaya sederhana dengan ulos ragi hidup di bahunya. Sahat tampak gagah dalam kemeja putih serta mengenakan jas dan ulos yang sama coraknya. Di hadapan pendeta, mereka mengucap janji di gereja.

Pendeta berkata, “Martumpol ini bukan akhir, tapi awal. Awal dari perjalanan panjang, yang harus dibawa dalam doa dan pengertian.”

Setelah ibadah, mereka pulang kerumah, berkumpul makan bersama dengan keluarga besar. Hidang khas seperti ikan mas dan saksang tersaji hangat. Semua orang tertawa, bernyanyi, dan memberikan restu.

Beberapa minggu setelahnya, tibalah hari yang dinanti. Pagi itu, desa kecil itu berubah meriah. Rumah Uli dihiasi bunga sederhana. Musik gondang Batakmulai dipukul pelan. Para tetangga berdatangan dengan pakaian adat, membawa beras, amplop yang berisi uang dan senyum.

Uli duduk di ruang rias, mengenakan ulos hasil tenunannya sendiri. Ompung Uli memeluknya dari belakang, lalu berbisik, “Nunga siap roham, inang? (Sudah siap hatimu, nak?)”

Uli mengangguk. “Iya, Ompung. Aku bahagia. Bukan karena pestanya, tapi karena orang yang kupilih.”

Sahat tiba dengan rombongan keluarganya, disambut penuh sukacita. Proses adat dilaksanakan dengan tertib ada pemberian ulos, tarian tortor, dan pidato adat dari para sesepuh.

Saat Sahat dan Uli duduk di pelaminan, mereka saling pandang dan tertawa kecil. Tak perlu kata-kata mewah. Mereka tahu, ini bukan akhir dari cinta mereka, tapi awal dari rumah yang dibangun dengan rasa sabar dan saling mengerti.

Ompung Uli berdiri dengan ulos di tangannya, lalu mengulurkannya ke pundak Sahat dan Uli. “Ulos ni pasu-pasu. Biar Tuhan yang jaga kalian, biarlah ulos ini sebagai perekat di rumah tangga kalian”.

Uli memeluk ompungnya erat. Air matanya jatuh. Di tengah tawa dan musik, ia berbisik pelan, “Terima kasih, Ompung. Cinta ini bukan karena kisah indah, tapi karena kita tak pernah saling lepas.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *