Di lereng Bukit Barisan, di sebuah desa kecil bernama Hutaraja, hidup seorang lelaki tua bernama Amang Patuan. Rambutnya sudah putih semua, tapi matanya masih menatap dunia seperti mata elang: tajam dan waspada.
Setiap pagi, Amang Patuan duduk di bawah pohon ingul tua yang menghadap ke tubu ni aek mata air suci yang diyakini sebagai asal mula kehidupan desa itu. Airnya bening, tak pernah surut, bahkan saat kemarau menggigit sawah dan ladang.
“Anakku, ingat ini,” katanya suatu hari kepada cucunya, Mardin, “jangan pernah menyentuh tubu ni aek dengan hati kotor. Banyak yang datang ingin mengambil berkahnya, tapi mereka lupa, air ini bisa membaca isi jiwa.”
Mardin hanya mengangguk. Usianya baru empat belas, tapi rasa ingin tahunya sudah melampaui usianya. Ia sering bertanya, “Kenapa kita tidak boleh mandi di tubu ni aek, Amang?”
Amang Patuan hanya tersenyum. “Karena itu bukan air biasa. Itu adalah darah leluhur kita. Di situ, Ompung Boru Nasution bersuci sebelum melahirkan pendiri desa ini.” Suatu malam, Mardin terbangun karena mendengar suara aneh: gemericik air dan suara perempuan menangis. Ia berjalan pelan menuju tubu ni aek, diam-diam, tak ingin membangunkan siapa pun. Sesampainya di sana, ia melihat seorang perempuan muda duduk di batu besar dekat mata air, rambutnya panjang menjuntai, mengenakan ulos tua yang basah kuyup.
“Siapa kau?” tanya Mardin, tubuhnya bergetar.
Perempuan itu menoleh perlahan, matanya kosong. “Aku Boru Nasution… aku menunggu orang yang mau menjaga warisanku, bukan mengambilnya.” Seketika, air di tubu ni aek berubah warna. Dari bening menjadi merah keemasan.
Mardin terjatuh. Ia pingsan.
___________
Keesokan harinya, Amang Patuan menemukan cucunya terbaring di dekat mata air. Wajahnya pucat, tapi di tangannya menggenggam batu kecil berwarna merah yang hanya bisa muncul saat roh penjaga tubu ni aek merestui seseorang.
“Anakku,” gumam Amang Patuan sambil menitikkan air mata, “kau yang dipilih.” Sejak hari itu, Mardin tidak lagi hanya dikenal sebagai cucu si Patuan, tapi sebagai penjaga tubu ni aek. Ia menghafal setiap doa, setiap kisah tentang asal-usul desanya, dan yang terpenting—ia menjaga agar orang-orang tak lagi memandang air itu hanya sebagai sumber kehidupan fisik, tapi juga warisan jiwa.
Desa Hutaraja tetap sunyi seperti biasa. Tapi setiap malam Jumat, cahaya merah keemasan tampak samar dari arah tubu ni aek. Sebuah cahaya yang hanya tampak bagi mereka yang hatinya bersih.